Jumat, 31 Agustus 2018

Hamil Kok Diem Diem Bae ?!




Hari ini tepat usia kehamilan tiga puluh lima minggu. Tinggal menanti beberapa minggu bahkan hitungan hari menjelang kelahiran dede bayi. Mohon doanya ya kengkawan semua, agar persalinan lancar, sehat, selamat, normal, dan tidak kekurangan satu apapun. Aaamiin Ya Rabbal’alamiin.

Yap, ini tulisan pertama di blog ini tentang kehamilan saya. Tentang kehamilan ini saya nyaris tidak mempublish di akun sosial media saya, bukan karena tidak bisa atau tidak mau. Tapi karena saya dan suami sepakat untuk menahan ekspresi euforia kehamilan. Sejujurnya sejak melihat dua garis merah di testpack, ingin sekali mengumumkan pada dunia berita baik yang kami tunggu selama empat tahun pernikahan. Ya, masih teringat jelas, jam tiga pagi di tanggal dua puluh enam januari, kami melakukan sujud syukur, haru, menangis, dan bingung harus mengekspresikan rasa bahagia dengan cara apa lagi. a lil bit drama, hhe..

Kenapa sampai harus ‘menahan’? 


Karena saya tahu, ada banyak pasangan yang sedang menantikan kehamilan, bahkan sedang berada di masa-masa putus asa dalam penantian keturunan. Saya pernah ada dalam situasi itu bertahun-tahun. Dan saya tahu rasanya, ketika melihat teman-teman bahkan adik kelas yang baru nikah seminggu udah langsung tokcer hamil, mempublish kabar bahagia dan terhanyut dalam euforia mengumumkan kehamilan ‘tanpa’ empati. Ya, mereka tidak bisa disalahkan, kitanya aja yang baper keleus, hehe… 

Tapi dalam hal ini, saya memilih memposisikan diri jadi ‘si baper’ daripada memaksa orang lain untuk turut berbahagia atas kehamilan saya. 

Saya menganologikan, menahan diri mempublish euforia kabar kehamilan seperti menahan untuk makan nasi padang secara lahap di depan orang-orang yang udah lama menderita kelaparan. Kan kasian. Mending nasi padang bisa dibeli, lha kalau kehamilan? 

Siapapun tahu, perkara hamil tidak hamil itu murni hak prerogatif Tuhan, bukan?


Lalu setelah satu per satu keluarga dan teman dekat mengetahui kabar kehamilan, semakin menyebar dari  mulut ke mulut (sok artis banget ya, haha)… Di luar dugaan, banyak teman-teman yang sedang dalam penantian, menghubungi saya. Ada yang melalui whatsapp sampai DM di Instagram, dengan pertanyaan yang arahnya sama: “Bagaimana caranya akhirnya kamu bisa hamil?”

Pertanyaan yang tidak bisa saya jawab. Karena saya merasa, ini bukan karena ikhtiar saya yang sangat terbatas dan seadanya. Ini hanya karena kehendak Tuhan semata.

Bukan sekisah dua kisah pasangan yang udah ikhtiar maksimal, mulai dari program hamil di dukun beranak, sampai dokter di luar negeri, inseminasi, bayi tabung, dan banyak lagi program canggih, kalau belum Tuhan kasih, ya belum aja. Artinya, kita manusia tidak selamanya bisa mengcreate takdir dan mengubah kehendak Tuhan.

Pertanyaan-pertanyaan dari teman-teman saya membuat saya bingung. Tapi rasanya ingin memberi jawaban, setidaknya untuk membuat mereka optimis dan terus bahagia dalam penantian.


Saya jadi merenung:
iya ya kok bisa hamil ya? Apa yang berubah dari pola hidup saya? Apakah karena pola makan? Atau karena apa ya?


Lalu saya ngobrol santai dengan suami tentang ini. Jika ditanya apakah saya mengikuti program kehamilan? Tidak. Kami belum sempat mengikuti program hamil, karena selalu terjegal jadwal pekerjaan suami. Selain itu, daftar antrean dokter yang sampai harus sebulan on waiting list membuat kami nggak balik-balik lagi hehe.. 

Pernah satu kali kami memeriksakan kondisi suami ke Spesialis Andrologi, sembari menunggu antrean Obgyn, alhamdulillah suami sehat-sehat aja. Dokter hanya memberi vitamin. Belum sempat kembali untuk melakukan cek kualitas sperma, sudah terjegal lagi dengan jadwal suami yang banyak mengisi training di luar kota. 

Oiya, setelah berbincang dengan dokter spesialis andrologi tersebut didukung obrolan saya dengan teman yang berprofesi dokter, ternyata rute yang baik bukan memeriksakan perempuannya terlebih dahulu, tetapi cek dulu kondisi suami. Ibarat perempuan itu tanah dan benihnya itu dari suami, mau sesubur apapun tanahnya, kalau benihnya tidak bagus, maka akan terhambat pertumbuhannya. Begitu katanya. Meskipun tentu banyak faktor yang mengakibatkan kesulitan hamil bagi perempuan.

Hal ini saya informasikan agar kita tidak terjebak pada stereotipe masyarakat yang serta merta menuduh si perempuan lah yang salah kalau nggak hamil-hamil.

Lanjut ya… ke pertanyaan, kok saya bisa hamil?

Setelah ngobrol-ngobrol sama suami. Kami sepakat jawabannya: TIDAK TAHU!
Tapi, dengan sangat sok tahu, kami mengira kalau kehamilan ini dikarenakan kami sudah dalam kondisi berpasrah tidak lagi memikirkan dan meratapi harapan kami untuk punya keturunan. Kami benar-benar fokus saling membahagiakan. Akhir tahun 2017 suami dan saya benar-benar membebaskan pikiran. Kebetulan suami pun sedang tidak banyak beban pekerjaan, saya juga sedang off bekerja (off yang berkepanjangan haha..), kami seperti manusia yang benar-benar cuti dari berpikir keras. 

Ketika melakukan hubungan suami istri pun kami tidak lagi membebani diri dengan kalender tanggal kesuburan.  Melupakan kalimat “semoga kali ini berhasil” dan benar-benar bisa dibilang “bodo amat” yang penting bisa saling menemani dan membahagiakan satu sama lain. Just enjoy the flow. 

Ya, itu jawaban kami. Ketika saya share ke temen-temen yang bertanya, beberapa dari mereka langsung menanggapi, “kayaknya iya deh. Suami kerjanya underpressure.” Ada juga yang menanggapi dengan, “kayaknya iya deh. Kami masih suka mikir kalau lagi berhubungan suami istri.” Dan ada juga yang mengaku kadung stres dengan pertanyaan “kapan punya anak?” dari orang sekitar yang akhirnya membuat mereka lupa untuk bahagia. Terbebani dengan pertanyaan itu membuat mereka memandang “punya anak” selevel dengan “tugas skripsian” atau selevel dengan “PR matematika sulit yang bisa selesai kalau rajin belajar atau manggil guru les” God!!!


Jadi, untuk temen-temen yang sampai hari ini belum dikaruniai kehamilan – keturunan, tetaplah bahagia dan selimuti hari-hari dengan penuh kesyukuran. Karena mau tidak mau, tugas kita hanya menjalani hari ini, mengalihkan penantian dengan melakukan hal-hal baik, semangat menatap harapan, bukan meratapi harapan.

Tetap kompak sama pasangan ya. 


You’re not alone. Never walk alone. 

Uly - your friend.

Selasa, 09 Januari 2018

'Kehororan' di balik kata tanya "kapan?"


Hello January !


Tahun baru seharusnya bukan hanya dijadikan momentum untuk membuat list resolusi yang baru, tapi juga momen menyiapkan mental yang harus lebih setroooooong untuk menjalani sepanjang tahun. Yakaaan? :D

DI blogpost perdana saya untuk Tahun 2018, saya ingin bahas tentang rentetan kata tanya KAPAN yang kadang mengandung aura mistis #eh maksudnya aura kurang menyenangkan bagi sebagian besar orang.



"Dia yang sensian, atau aku yang gak punya perasaan?"


Pertanyaan di atas kayaknya harus dimiliki oleh mereka yang seringkali mengusik "hidup" orang lain dengan pertanyaan dan pernyataan yang miskin empati. Bisa jadi dia yang kamu tanya dengan kata tanya 'kapan' memang sensian. Dan di saat yang sama, bisa jadi benar kamu yang bertanya emang nggak punya perasaan. Nah lho!

Saya menulis ini bukan untuk memamerkan kemampuan saya yang bisa "berbahagia" dan "tidak terganggu" meskipun belum punya keturunan, misalnya. Kadang masih suka terganggu juga kok. Terganggu karena kasian sama orang-orang kurang kreatif yang kalo ketemu pertanyaannya sama melulu :')

Beberapa (red.banyaaak) teman saya bertanya, "kamu kok santai banget sih?"

Nggak sesantai itu sih. Tapi saya selalu 'berusaha' untuk berpikir dan meyakini kalau Rezeki Allah tidak akan pernah salah alamat apalagi salah waktu. Yang terpenting sudah ikhtiar, sisanya? Ikhlas, pasrah, ridho sama ketetapan-Nya.

Dan saya yakin kalau JALAN CERITA setiap orang itu beda-beda. Mau itu cerita lulus kuliah, cerita dapat pekerjaan, cerita ketemu jodoh, cerita keluarga, dan semuanya yang terjadi pasti UNIK TAK TERDUGA. 

Meskipun prinsipnya sama: kita punya ukuran sepatu sendiri-sendiri, dan track masing-masing yang pasti sudah ALLAH sesuaikan untuk kita pakai dan jalani.

Miskin Empati [?] 



Tentang miskin empati, sudahlah lidah juga bisa dilatih kok. Jangan asal jeplak berargumen "abisnya gak niat nyakitin, kan cuman nanya, jawab aja sih!" atau "Ih dianya aja yang baperan" and bla bla bla.

Ya bisa jadi yang ditanya emang BAPERAN, lalu bagaimana kalau posisinya dibalik mbak? Mas? Pak? Bu? Pasti gak mau donk?

source: pixabay.com


Yuk mulai latih bahasa dan kata-kata. Stop hal-hal yang 'asik' untuk dirimu sendiri tapi sangat 'mengusik' orang lain.

Mending mulai ingatkan orang lain tentang bagaimana indahnya bersyukur dan tentang begitu banyaknya alasan untuk berbahagia. Ketimbang mengingatkan orang lain tentang apa-apa yang belum mereka punya.

Well, untuk yang pengen "mengingatkan" atau menunjukkan "kepedulian" mulai turun tangan donk jangan hanya turun tanya.

Misal, japri deh temen kamu yang belum punya jodoh.. "Say, kamu udah ada calon belom? Aku kenalin sama sepupuku mau? Pilot, usia 30, cari istri, siap keliling dunia, gaji buat istri semua. harus habis, kalau nggak habis nggak dikasih lagi"

Kan asiikk, hehe..



Dan bagi yang sedang "menanti" apapun yang dinantikan, teruslah kuat menjalani penantian. Pasti ada ujungnya. Ujungnya kapan & dimana? Hanya Tuhan yang tahu. Dan kala kita sampai di sana, sekejap lupa akan jauh & lelahnya perjalanan yang sudah terlewati. YOU'RE NOT ALONE!

Kita semua layak bahagia dengan apa yg sudah kita punya, termasuk segala sakit tak berdarah yang ini dan itu haha..

Peace, love, and ? HAPPY!





Your sister, 
- Uly.