Sabtu, 25 Februari 2017

Sabtu Bersama Bapak

Selamat hari Sabtu, dengan atau tanpa bapak di samping kita.
foto diunduh dari media.viva.co.id
Sudah sejak dua bulan lalu pengen nulis personal-journal tentang film Sabtu Bersama Bapak. 
Film ini sudah lama release di bioskop (bioskop kesayangan anda). Tapi waktu film ini tayang di bioskop, saya masih stay di tempat tinggal yang perlu waktu kurang lebih empat jam menuju bioskop dan itupun hanya bisa pergi di hari libur atau weekend. (intinya sih belom maksain nonton karena gak terlalu "pengen" nonton)


Sebenernya ini bukan review film ya. Seperti yang saya sebut di awal, ini lebih ke tulisan tentang pengalaman saya pribadi tentang film ini. Dan sebenernya lagi, Sabtu Bersama Bapak ini  release pertama dalam bentuk buku yang ditulis oleh Adhitya Mulya. Sayangnya saya belum baca, gak ada alasan apa-apa. emang belum aja. but it's on my list. 

**
Saya akhirnya ditakdirkan Allah untuk klik judul film ini di layar monitor pesawat Garu*a ketika menempuh perjalanan Pekanbaru-Jakarta. Ya, saya sebut itu takdir, kehendak Allah. Karena saya termasuk yang meyakini kalau gak ada yang namanya kebetulan di dunia ini. Selalu ada "alasan" di balik segala peristiwa #tsaah!

Awalnya saya yang sok tahu ini mikir kalau film ini bakal seperti drama kebanyakan. Ya gitu gitu aja, flat, sedih, dan sudahlah. Dasarnya saya sok tahu aja hehe... Akhirnya saya terbawa ke dalam arus perenungan yang cukup dalam, dihujani masa lalu dengan derasnya, mendadak mengasihani diri sendiri, merasa bangga dengan apa yang sudah saya lewati, dan merasa kalau saya tidak sendirian. 

In my opinion, film Sabtu Bersama Bapak adalah film yang menyembuhkan, memperkaya batin anak-anak yang mungkin tumbuh tanpa figur ayah, dan seolah mendampingi anak-anak yang tersesat dalam pencarian "diri".

Untuk pertamakalinya, saya nangis di pesawat cuman gara-gara nonton film. Beberapa pramugari yang lewat terlihat "bingung" dan mungkin ada yang menduga saya sama suami lagi berantem hahaha...

suami pun gak kalah bingung, 'lha istri gw kenapa ini, bisa bisa dia dituduh KDRT di pesawat,' hehe..

Saya nya juga bingung kenapa. Kok bisa sampe nangis? Padahal kan kalo di pesawat mana bisa kondusif nonton. pasti kepotong-potong sama pengumuman co-pilot tentang ketinggian lah, cuaca lah, turbulence lah, de el el. But it's really happened.

Mungkin karena  i feel the story. i was feeling lost. and i see the real "me" on the movie. Bener-bener undescribe feeling (dan tonton deh. mungkin kamu bakal paham apa yang aku maksud hehehe..)

postingan yang agak absurd ya. tapi dibalik keabsurd-annya. i wanna thank you, penulis juga the producer of Sabtu Bersama Bapak. Indonesia perlu banyak film yang membangun kekuatan jiwa. Ini mungkin serada lebay ya, tapi sayang sekali harus kita akui ini benar. 

Film ini menggambarkan banyak sekali yang harus kita perankan dalam hidup, dan semua peran itu membutuhkan totalitas. Menjadi ayah dengan menjadi bapak-bapak itu beda. Menjadi ibu dengan menjadi ibu-ibu itu tidak sama. Menjadi anak yang kuat dalam kenyamanan itu tidak mudah, menjadi tidak rapuh dalam penderitaan pun sulit. Dan sangat tertampar dengan salah satu ungkapan 'Ayah' dalam film ini, kurang lebih yang saya maknai sih begini: jangan pernah meminta orang lain untuk melengkapi kita. Satu-satunya orang yang bertanggung jawab untuk tumbuh lebih baik, lebih lengkap, ya diri kita sendiri.

Banyak orang (termasuk saya) yang seringkali menuntut orang lain untuk menjadi "seseorang" yang melengkapi kita, dan kita merasa bangga dengan keterbatasan yang sebenarnya masih bisa diperbaiki. Ketidaksempurnaan itu fitrah manusia, tapi manusia juga diberi fitrah untuk mampu memperbaiki diri, menyembuhkan diri sendiri. 

Kamu yang sudah nonton, punya pengalaman apa sama film ini? 
Yang belum nonton, nonton gih, siapa tahu kamu butuh 'ayah' juga :)

Jumat, 24 Februari 2017

My FREAK My ADVENTURE Part. 2 : Nyasar ke Pantai Painan Padang

Hallooo...
ketemu lagi di lanjutan cerita My FREAK My ADVENTURE :'D


di akhir tulisan bagian pertama ada kalimat:
"percaya deh, perjalanan yang seru itu ternyata perjalanan yang entah direncanakan oleh siapa, tapi kita yang harus mengeksekusinya"
iya kadang emang gitu kan? Apa yang kita rencanakan malah terealisasi dalam kehidupan si A. Tapi sebaliknya, si A pun punya rencana yang mungkin terealisasikan oleh si B, C, dll.

sebaik apapun rencana kita as a human, tetep aja Tuhan selalu punya rencana yang lebih baik. Dan Tuhan pasti lebih tahu siapa yang lebih layak mengeksekusi sebuah rencana, jadi ya bersyukur aja. Nikmati apapun yang ada di depan mata #tsaaaaah


**

Lanjut ke perjalanan camping TNBT. 
Setelah semua well-packed di dua ransel kami. Suami sibuk telepon temen-temennya, memastikan spot penjemputan, dan lain sebagainya. Salah satu telepon mengabarkan kalau dua anggota trip tidak bisa bergabung, karena harus lembur di kantor. Dan salah satu yang membatalkan adalah pemilik kendaraan yang akan kami pakai. Artinya, ada PR untuk mencari kendaraan alternatif.

Belum tuntas urusan kendaraan, HUJAN DERAS turun. Bukan kepalang dag dig dug. Hujan yang membuat salah satu anggota trip mengabarkan kalau tidak jadi ikut karena hujan. Tersisa empat anggota yang harap-harap cemas menanti hujan reda.

Hujan reda beberapa saat, kemudian turun lagi. Duh, rasanya gimana gitu ya, mengingat semua sudah masuk ransel dan dua ekor ayam sudah panggang-able di keresek.

Sampai jam dua siang, hujan tetap istiqamah. Kami pun pasrah, tidak mungkin memaksakan kehendak. Karena kalau memaksa pergi di jam 2, kami baru sampai lokasi jam 4 sore. dan diperkirakan waktu tempuh hiking 3 jam. Cuaca di sana pun (sumber: Ibu Sri penduduk lokal sekitar TNBT) mendung sekali. Bahkan Ibu Sri merekomendasikan untuk menunda perjalanan. Yasudahlah....


Gimana kalau kita pasang tenda depan rumah aja sambil manggang ayam? 
Gimana kalau kita pasang tenda di samping sekolah?
Gimana kalauu kita pasang tenda di taman?

Pertanyaan yang jawabannya hanya: KETAWA NGENES! 

Sampai saya dan suami sepakat: terserah deh kita pasang tenda dan panggang ayam dimana, pokoknya kita harus pergi! *senyum devil kompakan*

Tiba-tiba... suami ingat tawaran salah seorang temannya (a.k.a Pak Andre) yang mengajak suami ke Pantai Cerocok Padang. Iseng memfollow-up ajakan itu sebetulnya, karena besar kemungkinan Pak Andre tersebut tidak mengiyakan, karena Padang itu jauh dan beliau punya anak balita. Kami hanya punya waktu 24 jam + 15 jam saja sebelum hari Senin. Perjalanan ke Padang bisa ditempuh paling cepat 8 jam tanpa henti. Kalau berhenti-berhenti? bisa moloor itu estimasi waktu. 

So, bisa dikatakan untuk perjalanan PP saja bisa seharian. Nggak mungkin donk ambil cuti dadakan cuman gegara urusan ayam panggang sama tenda? haha.. 

There is a will, there is a way


Dimana ada kemauan pasti ada jalan, bukan?
Kalau ada kemauan, nggak ada jalan? Ya ayo kita BIKIN JALAN! #Maksa haha
Di luar dugaan....
Tanpa basa basi, Pak Andre mengiyakan 'follow-up' suami. 
Tanpa bongkar apa apa lagi, kami langsung berangkat angkut ransel, ayam sang tokoh utama, dan panggangan.

Pencarian Arang 

Kami memulai obrolan dengan tema: ayam mau dipanggang dimana?
Segitunya, karena kalau si ayam ini tidakk segera dipanggang terancam basi. T.T
Ketidaktersediaan arang membuat sepanjang perjalanan kami mencari arang di warung dan pasar yang ditemui di sepanjang lintas sumatera. dan hasilnya nihil..

Di perbatasan Riau-Padang, kami hanya mendapat batok kelapa yang belum kering-kering amat. Dan belakangan baru tahu kalau orang-orang lokal daerah tersebut emang terbiasa membakar sate (minang) tanpa arang, tapi pake batok kelapa gitu. Ooooh yayayyayaya~

Pasrah deh, arang juga gak ada. Next question: MANGGANGNYA DIMANA? 


Hari udah gelap banget, #eh malem ya namanya kalo udah gelap. 
Rencana bakar-bakar ayam di sebuah taman dengan manis sudah bisa dipastikan GAGAL haha.. Again and again...
Tapi si ayam akan mubazir kalau gak dipanggang malam itu juga. karena kondisinya agak basah pasca diungkeb kan sodara sodara sebangsa setanah air. 
Oke, selalu ingat, kalau Niat baik pasti ketemu jalan yang baik #tsaaah..

Tadaaaa.... Akhirnya kita manggang ayamnya di pinggir jalan Lintas Sumatera

......VICTORY. HISTORY......
bakar ayam di lintas sumatera. kapan lagiiiiiii :'D

Mendadak ngerasa keren kalau lagi ceritain part yang ini. Berasa banget deh antimainstreamnya, Haha..

Oke, selama manggang agak susah ya nyalain api dari batok kelapa yang belum totally dried gitu. Akhirnya si pak suami mengeluarkan sekeresek plastik. Lalu si minyak tanah agak lebay itu diguyur ke sekitaran batok kelapa. 

saya   : Pii, ngambil keresek itu dari mana?
suami : Dari tong sampah sekitaran tukang sate tadi. Tapi bukan sampah basah kok, aman.
saya    : ngomong dalem hati Huex! Gini amat ya takdir hahaha
Sudahlah akhirnya drama ayam panggang selesai. Pak suami sibuk manggang, Pak Fifan sibuk bikin kopi item, Pak Andre sibuk istirahat karena Padang masih jauh, haha.. Dan kami para weceu sibuk makan dan ngopi hehe..

Perjalanan lanjut sekitar jam 1 malem. Btw Dede Kyra - member balita  satusatunya ini setrooong banget udah bakat banget bolang. Nggak ada rewel-rewelnya, malah menikmati ayam panggang yang sejarahnya ..... ah sudahlah. semoga sistem imunnya kuat hehehe...


Salame Pagiiii Padang

Yeay. Bangun-bangun sudah disambut hawa segar dingin pegunungan. Transit shalat subuh di sebuah mesjid. Sebelum lanjut menikmati pemandangan alam yang aduhai. Kebun teh, air terjun, pesawahan, dan  of course LAUT.

CAMPING [?]

ngopi depan tenda :)

Masih inget kan kalau kami sama sekali gak edit alias bongkar lagi barang bawaan yang sebelumnya kami niatkan untuk ke Bukit Tiga Puluh. Oke, dampaknya baru terasa setelah sampai pantai.
Mau berenang pake celana gunung?
Tenda? 
de el el yang sama sekali gak compatible untuk 'mantai' haha

But trust me, kalau udah ikhlas go with the flow, piknik akan jadi ciaaaamiiiik dah.

Ini hasilnya jeng jeng jeeeeng ~


otw Pantai Painan

Add caption



snorkling di Pantai Painan, Carocok. Pake sandal gunung, baju gunung, haha..

Our Bolang :)


Freak adventure family :)
somehow life should be a lil bit FREAK for being Extraordinary ! 






Kamis, 09 Februari 2017

Jembatan Empati : berdamai dengan 'kenyinyiran'

Semenjak memutuskan pindah ke Pulau Jawa, which is tempat asal kami, seringkali ada pertanyaan dan tanggapan yang sebetulnya bernada (sorry to say) “sok tahu” . Hmfh..... zzzzzzz

Lalu kami berusaha membangun dan menapaki jembatan empati untuk mereka-mereka yang sok tahu tersebut, bukan untuk siapa-siapa, tapi untuk kesejahteraan batin kami, hahay!


Ngomongin apaan sih? Ngomongin ini lho:

Tujuh Januari kami – saya dan suami, resmi pindah dari Riau ke Pulau Jawa lagi. We stay for a while di Malang, Jawa Timur. Untuk kami, kepindahan ini bukan hal yang terjadi begitu saja, bukan sesuatu yang harus dipertanyakan, apalagi jadi perdebatan, yaellah, pindah doank. 
Tapi..... ternyata respon orang mah beda-beda.

Yes, we quit that zone to move-  not to escaping life :) 

Respon terhadap adegan pindah yang menurut saya agak di luar dugaan. 
Well, sengaja saya dokumentasikan lewat tulisan di blog ini, as my personal journal. Mungkin suatu saat saya perlu flashback, atau mungkin ada orang lain yang juga ada di situasi yang sama. 
Niatnya, reinforce myself then share to others in a positive ways.
Tanggapan lucu yang serada mengusik, diantaranya:
  • Apalagi sih yang dicari? Kerjaan udah enak, karir udah sama-sama enak, malah resign. Orang lain malah susah cari kerjaan lho
  •  Ada masalah apa kok resign Pak Kepsek? Padahal istrinya udah enak dapet kampus yang dekat untuk ngajar.
  • Wah sayang ya padahal udah mapan disini, malah pindah.  
  •  Dan sejenisnya semacamnya macam macam.

Dan ketika kami pindah untuk take a breath in the moment, memenuhi hak jiwa untuk bertualang (baca: piknik-piknik alay haha), upload foto di berbagai tempat, upload by a positive caption, tanggapannya lebih aneh lagi, kebanyakan bilang: “jalan-jalan terus pak/bu”, atau  ada yang sampe berani sounding tentang uang pesangon. Pengen banget dengan gaya #agnezmo squarelling like.....
WHAAATTT???!!!
How could you be that rude, meeeeen...!!
You dont even know our plan. you dont even know us personally.
you just focusing on the picture without read the caption,
and you just care to your mind, not on what we do at all. Sigh!
Seingat saya, kami gak pernah sefulgar itu ngurusin hidup orang-orang di sekitar kami. Kecuali ya orangnya minta diurusin, hehe... Kami cukup menyimpan berbagai pandangan tentang apapun hanya untuk kami, gak pernah niat nyenggol-nyenggol hidup orang, kecuali kalo disenggol orang ya maaff kepaksa nyenggol balik, sedikit, hehe...
Saya yang piknik, kok bapak/ibu/mas/mbak yang mumet mikirin duit?
Saya yang jalan-jalan, kok bapak/ibu/mas/mbak yang capek?

Tapiiiii.....

Proses yang berlalu kurang lebih sebulan ini mengajari saya tentang Jembatan Empati yang saya jadikan headline tulisan ini.

Ooooooohh Ternyataaa..... 
"Oh, ternyata ada lho ya orang yang doyan banget ngurusin hidup orang lain. Yang tiba-tiba seolah peduli, padahal cuman kepo."
"Oh, ternyata bentuk-bentuk iri, dengki, di zaman sekarang itu beragam ya. Termasuk dengan cara ekstrem menilai baik-buruk, pantas-tidak pantas tentang keputusan orang lain yang ada hubungan kekerabatan pun nggak alias cuman kenal."
"Oh, ternyata hidup mereka itu sebegitu membosankan ya sampai apa-apa dinilai dengan uang."
"Oh, ternyata kebanyakan orang menyetarakan kebahagiaan dengan jabatan, besaran gaji, status pekerjaan, dan uang uang uang ya."
"Oh, ternyata selain berbeda mereka pun memaksakan nilai-nilai hidup yang sama ke orang lain ya."

Dan saya memilih untuk tidak memaksakan nilai-nilai hidup saya kepada siapapun. Lalu apakah semudah itu? mengingat saya disenggol duluan, hehe...

Jawabannya Tidak! Saya harus membangun jembatan empati yang begitu panjang. Menapaki selangkah demi selangkah perbedaan cara pandang. Diskusi sama suami. Terus berusaha maju untuk berempati pada mereka yang #kurangpiknik #eh #maap #nooffense

Because to be mature is not that easy

Sampai akhirnya tulisan ini diterbitkan di blog pribadi saya. Kami akhirnya semakin maju menapaki jembatan ini untuk berempati pada cara pandang yang jauuuuuh berbeda dengan kami.

Saya memang meninggalkan kemapanan (versi kalian), ninggalin mobil, status, gaji yang lumayan, tunjangan kesehatan yang almost unlimited, potensi bonus tahunan yang lumayan, dan bla bla bla yang ada di pikiran kalian. 

Alasannya? 

Bukan gak suka hidup mapan seperti itu, apalagi cuman buat cari gara-gara, tapi karena kami punya versi kemapanan sendiri. Which is not only about MONEY !
Sorry, my life has no price-tag!
Terima kasih banyak pada kalian semua yang merasa pernah memberikan reaksi-reaksi tak terduga, memberikan perhatian luar biasa, karena itu semua kami jadi lebih banyak belajar.

Kita sama-sama manusia, kita sama-sama hidup, tapi bagaimana kita menjalani kehidupan biarlah itu jadi hak prerogatif masing-masing. Berhentilah jadi manusia yang hobi mengusik apalagi memutuskan mana yang baik-buruk untuk orang lain, karena pada hakikatnya yang kita tahu tentang orang lain sungguh-sangat-sedikit.  Kenal diri sendiri aja belum tentu, kan?

Yuk, bangun jembatan empati, tapaki, nikmati, pelajari, sampai akhirnya mampu mengerti.

i wont give up on my own life. Wish "you" all do the same
Kita saling mendoakan kebaikan satu sama lain daripada nyinyir hehe...

Salam empati, gaeeeesss :*



Rabu, 08 Februari 2017

My FREAK My ADVENTURE Part. I : Taman Nasional Bukit Tiga Puluh (TNBT) Riau

Iya, kamu nggak salah baca, this is My Freak My Adventure.
Karena memang sungguh sangat freaky cerita perjalanan yang bakal diceritakan di jurnal ini
Cekidot eaa kakaaks :D

**

Rencananya...

Saya, suami, dan teman-teman suami berencana camping di Taman Nasional Bukit Tiga Puluh (TNBT) di daerah Seberida, Indragiri Hulu, Provinsi Riau. Nggak lain dan nggak bukan, dalam rangka refreshing. 

sumber foto header: wisatanegerimelayu.blogspot.com


Lokasi TNBT tidak terlalu jauh dari tempat tinggal kami, dua jam perjalanan saja jika ditempuh menggunakan mobil dengan kecepatan rata-rata 80-90 km/jam. 

Berhubung belum pernah ada yang pergi camping ke lokasi tersebut, kami memutuskan untuk survei lokasi seminggu sebelum hari H. Perjalanan menuju Seberida tidak ada masalah. Bermodal pengetahuan surveyor dan internet, sampailah di persimpangan jalan. Kami memutuskan berbelok setelah melihat plang besar bertuliskan TNBT bla bla bla (saya nggak hafal tulisannya, hehe.. 
Yang jelas dari plang tersebut, kami mendapat informasi kalau TNBT berjarak 12KM dari jalan raya.

Jalannya berupa tanah merah, agak lembek, karena memang akhir-akhir ini hampir setiap hari Riau diguyur hujan. Dua kilometer pertama mobil yang kami naiki masih bisa dikatakan baik-baik saja. Tapi semakin ke atas kondisi jalan semakin tidak bersahabat. Mobil Inova yang kami naiki soak. Jalan bukan hanya bertanah merah yang lembek, tapi konturnya semakin tidak beraturan, banyak sekali lubang-lubang. Awalnya para laskar surveyor masih memaksa optimis, tapi setelah terjebak di jalan yang tidak lagi mungkin dilewati, mau tidak mau harus mundur teratur. Mengalah pada kondisi jalan T.T

Saya, suami, Pak Fifan, dan Pak Tepu memutuskan turun, untuk menghindari resiko mobil terbalik. Sedangkan Pak Adit stay di balik kemudi, berusaha keras memundurkan mobil perlahan. Selain curam, licin juga jalannya. 

Mobil terpaksa diajak mundur T.T
dug dug serrrr

Kami berhenti di sebuah warung milik warga. Ada beberapa ibu-ibu yang sedang berkumpul. Ya, minimal dapat informasi tentang track ke puncak, meskipun tidak berhasil survei sampai sana, batin kami. Obrolan kesana kemari pun berlangung epic, ditemani kopi hitam, dan cuaca yang mendung. 
Ibu-ibu di sana menegaskan kalau tidak mungkin bisa ke puncak jika menggunakan mobil semodel Inova yang kami bawa. Bisa dikatakan, perlu kendaraan yang sangar, tahan banting, nggak gampang baper kali ya, haha.. 

Selain informasi tentang kendaraan yang compatible, kondisi puncak, kondisi track, harga sewa ojek (100.000 PP), cerita hantu, dan lain-lain yang tidak bisa diceritakan disini, kami pun mendapat nomor kontak Ibu Sri. Alhamdulillah... Meskipun gagal survei, silaturahmi bisa tetap terjalin #eeaaa

Gagal survei ini akhirnya membawa kami ke sate yang cukup melegenda di daerah Belilas Riau: Sate Pak Dono

Para lelaki memesan sate kambing plus kuah gulai, saya sendiri memesan sate ayam. Satenya enak. Bumbunya tidak seperti sate kebanyakan, hanya menggunakan kecap, rempah, dan irisan bawang merah. Recomended!

Di Warung Sate Pak Dono inilah kami melanjutkan imajinasi pendakian menuju TNBT. Rencana demi rencana digagas, dari rencana absurd semodel mendorong teman ke jurang ketika kelelahan, sampai rencana yang bisa diterima: menggelundungkan teman yang kelelahan dan merepotkan, hahaha....

Mostly, rencananya gak ada. Becanda doank! Maklum, masih belum bisa menerima kenyataan karena hanya bisa menempuh 2KM dari 10KM 
Hellllooooooooooowwww!!!!! 
#LOL

Seminggu kemudian ...

Persiapan demi persiapan dilakukan menjelang keberangkatan. Semua disiapkan sesimple mungkin, karena kami semua memutuskan untuk tidak menyewa ojek, tapi akan hiking sejauh 12 KM. 

Saya si pemalas olahraga, mulai memikirkan untuk stretching, jangan sampai rempong pas pendakian. Hari jumat suami mendadak dinas luar, alhasil saya was was tidak jadi pergi. Tapi suami memastikan jadi pergi. Melalui telepon suami mengkoordinasikan menu perbekalan apa yang harus dibawa. Berhubung seluruh personel menunjuk secara sepihak seksi konsumsi: saya. Wajar sih, karena hanya saya personel yang berstatus IRT, yang dianggap capable urusan begituan, padahal mah NGGAK! 

Ransel, pakaian, action cam, power bank, sleeping bag, mie instan, mie gelas, roti,  sosis siap santap semua sudah ready. Packing selesai. Semua sudah well-prepared. 

Saya pulang dari kampus siang hari, membawa ayam ungkeb  (yang diungkeb sama mama asuh di kantin kampus), membawa tenda pinjeman temen dosen, exiceted sekali. Langsung berganti pakaian kaos, celana gunung, sandal gunung, sampai kacamata plus topi sudah siap. 

Let me say, "I am READY, mameeeen!"

And Theeeeen, 

tulisannya berlanjut ke My FREAK My ADVENTURE Part. 2 ya ya yaaa~ 

percaya deh, perjalanan yang seru itu ternyata perjalanan yang entah direncanakan oleh siapa, tapi kita yang harus mengeksekusinya, haha... 











Kembalilah, Alea.

Panggil aku Alea.
Aku yang sempat kehilangan: diriku sendiri.

**

Pada akhirnya aku  harus menata diri kembali, memperbaiki yang belum baik, dan menghapus segala ketidakbaikan yang kadung melekat. Pelan-pelan, tapi harus terus kulakukan. Bukan untuk siapa-siapa, tapi untuk diri sendiri yang terlalu lama lupa diri.

Pernah, dalam waktu yang entah berapa lama aku menganggap bahwa aku dibenci. Aku diperlakukan berbeda. Tapi nyatanya, aku yang telah lama membenci, menempatkan kebaikan-kebaikan tidak pada tempatnya, menciptakan kelam sendirian. Aku yang ternyata terlalu sibuk menempatkan diri sebagai korban dan orang lain sebagai penyiksa.

Juga, aku pernah terlalu dalam mencintai. Menempatkan diriku sebagai satu-satunya yang pantas untuk diberikan tahta cinta olehnya, tapi aku tak mengakuinya dengan tulus. Nyatanya bukan cinta yang aku miliki, hanya sebuah rasa ingin memiliki tanpa kendali. Bahkan aku membawanya terlalu jauh ke alam bawah sadarku. Membuatku tak lagi mampu bedakan, mana nyata mana ilusi.

Hampir selalu aku merasa terbang di atas angin, menyembunyikan sayap-sayap patah. Menjauh dari bumi agar tak dikenali segala bekas luka yang aku pikir merusak rupa dan pesona. Nyatanya angin tak hanya membuatku terbang, tapi lupa asalku dari mana. Aku menjadikannya lebih kencang, tapi menyalahkannya di saat yang sama. Ah, lagi-lagi tentangku yang lupa diri, bukan?

Aku sering menyakiti. Menyia-nyiakan mereka yang penuh harap bahagiakanku. Memberikan genggam demi genggam kasih sayang. Aku berpaling, aku menolak, aku menginginkan yang lebih. Padahal bagi mereka, tak pernah mudah melakukannya. Aku berpaling, aku meminta lebih. Aku melakukan pembenaran atas segala luka-luka masa lalu yang sebetulnya sudah sembuh. Mengapa aku pandai sekali memelihara pilu? Dan menyeret orang lain yang tak tahu apa-apa untuk turut menanggungnya?

Cermin saja seolah tak pernah berkata jujur mengungkap rupaku. Pantulannya telah aku manipulasi dengan egoku. Sehingga hanya aku yang benar, pandanganku yang nyata, tatapanku saja yang layak dipedulikan.  Aku yang kian lupa diri.

Hei, jiwa yang tak lagi membiarkan dirinya rapuh. Waktumu tidak banyak. Berjalanlah perlahan. Tak usah terburu-buru. Bukankah kau miliki impian yang sangat besar. Impian yang banyak. Bagaimana bisa kau mewujudkannya tanpa kesabaran dan kesadaran?

Hei, jiwa yang tak lagi membiarkan dirinya menangis sendirian. Ingatlah mereka yang tak pernah pergi meninggalkan. Mereka membiarkan berjalan sendirian, bukan meninggalkan. Mereka tetap di sana, di ujung jalan, menanti kau bersorak saat berada di puncak mimpimu. Bagaimana mungkin kau menyia-nyiakan tatapan tulus penuh harap itu?

Hei, jiwa yang kerap kali tertunduk tak berdaya. Lihatlah langit sesekali, Indah bukan? 

Ia indah karena keluasannya. Lapangkanlah hatimu, genggam terus awan-awan kebaikan. 
Bukankah ini sudah lebih dari cukup untuk membuatmu mencintai dirimu sendiri lebih dari siapapun?

Kembalilah, pada dirimu yang mencintai dan kau cintai.
Cintailah setiap langkah perjalanan,
Tuhan tak sedikitpun lengah memberimu pelukan kekuatan dan kemudahan. 

sebuah sajak yuli nurmalasari
www.jurnal-uly.com
                                                                                                                                  IG @uly_uli