Selasa, 26 November 2013

Kepada Biru


Biru, kau pasti sedang mendengar lagu bersyair indah milik kita, dulu.
Baiklah, aku  ralat. Lagu yang sama, tapi indahnya bukan milik kita lagi.
Tapi aku begitu tahu kau masih suka mendengar lagu itu. Meskipun aku tak tahu pasti kenapa kau masih senang melakukannya. Bisa jadi karena kau masih merindukan kisah-kisah indah kita, dulu. Atau mungkin juga karena kau hanya sebatas menyukainya sebagai musik ber-chord abadi. Ya, kau pernah bilang padaku dulu. Kau suka lagu itu karena chordnya, bukan syairnya. Kita menyukai lagu yang sama dengan alasan yang berbeda.
Kita memang berbeda. ah, aku telat menyadarinya.

Biru. Aku selalu merasa senang memanggilmu , Biru. Serupa senang kala melihat langit tanpa awan, luas tanpa warna lain, hanya biru.
Kamu ingat tidak, ketika kita sama-sama melukis kelinci dan kuda terbang di langit biru itu?

Aku bahkan masih mengingat semuanya tak terkecuali. Tawamu kala menonton Tom & Jerry, sungging senyummu seusai membacakanku puisi, pujianmu akan masakanku, belai lembutmu kala menyapu peluh lelahku, dan punggungmu yang tak kalah memesona kala kau pergi – tak kembali.

Biru- seluruh hatiku. Tak perlulah kau sekejam ini. bolehkah aku memintamu melawat hatiku yang hanya berwarna biru? Sekali saja.
Setelah itu, kembalilah pergi tanpa memunggungiku seperti itu.
Ah, aku memang terlalu banyak menuntut. Betapa aku merindu Biru.

Fiksi, 05 Juli 13

Senin, 25 November 2013

Selesai? Entahlah!


Selesai? Entahlah!

Ketika sayap-sayap kenangan bernada kerinduan menyapa sebuah siang.

Aku sampai di hari ini membawa banyak cerita yang belum selesai. Orang-orang yang mengerti psikologi psikodinamik menyebutnya sebagai unfinished business. Ah , itu teori yang selalu aku tak suka. Teori yang menggiring analisis panjang dan selalu berujung dengan kalimat - iya, ini belum selesai.

Banyak nama, tempat, dan adegan yang sampai hari ini belum bisa kubuang lepas di tong sampah. Semua masih rapi kusimpan di gudang kenangan yang bersiap menggerogoti furniture  dan seluruh bagian rumah serupa rayap lapar yang merusak kayu.
Banyak hal  masih piawai mencipta denting dan tarian yang membuat aku menyungging senyum dan kembali menatap luka.

Kamu, salah satunya. Ya, kamu.

Kamu yang begitu gemilang. Satu-satunya sumber inspirasi yang terpaksa harus kupunggungi. Kamu yang dulu sempat begitu memesona seluruh isi jiwa. Kamu yang menapaki karpet merah bersamaku, menuju singgasana mimpi. Kamu yang juga punya mimpi yang sama. kamu yang sempat begitu pandai membuat keindahan di taman, mengalahkan harmoni rumput hijau-bunga-angin-dan kupu-kupu. Kamu yang bersuara biasa tapi pandai mendendangkan lagu-lagu yang kusuka. Kamu dan nada-nada gitar yang masih terdengar indah, sampai hari ini! kamu yang tak berhenti memanggil-manggil, meski kita tak menapaki jalan yang sama lagi. Kamu yang begitu luwes bak gerakan tarian burung kala melepaskan genggaman tangan - yang semula begitu mesra. Kamu yang sampai hari ini masih membayangi istana mimpi. Kamu, cerita yang masih menuntut ujung yang entah apa. kamu yang masih mampu memesona labirin-labirin kepala. Kamu yang tak juga menyelesaikan nyanyian di jiwa-jiwaku. Ah, mengapa sebegini dalam di saat jarak terlalu jauh.

Bisakah kamu selesaikan ini?

Meski entah dengan apa kita mampu selesaikannya. Karena nyatanya, selesai adalah apa yang pernah kamu ucapkan, tapi selalu aku hindari untuk mendengarnya. Tuhan, mengapa aku hanya bisa berkata.. entahlah!