Sabtu, 08 Juni 2013

Melodi Kenangan


Ingin sekali aku mengetuk pintu masa dimana kau memutuskan untuk pergi dan aku tetap tinggal. Dari kisah itu, aku mengenal sisi lain diriku yang tak mampu bertransaksi. Aku mencintaimu, memimpikanmu setiap malam, menyelipkan namamu di setiap cita dan harapan. Aku melakukannya tanpa ada jaminan kau melakukan yang sama. Aku tak peduli!

Malam itu, kau mengabarkan pamit atas kisah ini. dan kau memintaku untuk berbahagia. Bagaimana bisa aku menerima semuanya dengan senyuman bahagia, kala yang kau kabarkan adalah kepergian yang tanpa pulang. Itu hanya permintaan gila.

Sekisah yang tak pernah bisa hilang kelekatannya dari ingatan. Aku tak bisa lupa. Bait-bait sakitnya bahkan masih terasa hingga hari ini. tak hanya itu, elegi bahagia saat kau rengkuh citaku dengan cinta yang kau simpan perlahan pun aku ingat, selalu.

Bagaimana denganmu di sana? Itu sekalimat tanya yang hanya mencipta jeda berakhir titik tanpa koma apalagi sebuah kata lanjutan.

Ku tak pernah berbalik memunggungi kisah ini sedetikpun. Aku hanya tertunduk tak mampu menatap kau yang melaju pergi begitu cepat. Aku hanya tak ingin melepasmu yang penuh keyakinan.
Entah sudah berapa detik aku mengiba untuk mematri elegi kita berdua yang indah. Ah cinta, kau memang kepalsuan yang indah tak bernyawa. 

Lelakiku


: Rizki Erdiantoro.

Mungkin aku termasuk perempuan yang hanya pandai menceritakan kepedihan. Sastra begitu mudah kusenandungkan kala duka, patah, sendu, pun merana. Tapi tetiba aku lupa diksi dan intonasi,  kala jiwa diliputi sukacita bahagia. Menulis ini pun aku memaksa. Rasanya tak adil saja jika ku menyerah untuk tak menuliskan indahnya rasa terhadapmu: lelakiku.

Aku tak pernah menyangka, kalau rasa sesakral ini bisa kuletakkan di genggamanmu. Aku tak merasa mabuk, aku tak tenggelam. Rasa yang kuduga lebih dari sekedar ‘cinta’ ini membuatku suka dan pandai berenang, bukan tenggelam lalu hilang kesadaran. Senyumanku sederhana, aku tak begitu tergila-gila. Meski sederhana, aku tersenyum setiap hari: bahagia.

Sebelumnya aku menemui banyak laki-laki, tapi yang kupanggil lelaki itu hanya kamu. Lelaki bagiku itu satu, tak ada setara apalagi setala. Kau satu yang kucintai sebagai lelakiku. Bukan berarti mereka tak baik hinggaku begitu meninggikan derajatmu, tapi karena kau memang yang terbaik. Beberapa memang lebih tampan dan perlente, tapi kau adalah yang paling berharga.

Kala ku mematut diri di cermin yang tak terlalu besar – tapi cukup untuk memantulkan seluruh wajah hingga tiga perempat tubuhku, ternyata aku tak terlalu cantik, dan ajaibnya kau pun tak terlalu memujaku karena ku cantik. Entah sudah berapa kali kau sebut aku perempuan berparas biasa saja, tapi aku tak merasa tercela. Aku bahagia. Rasa bahagia kala tak dipuja atas kecantikan bukan karena logikaku tak bernyawa, tetapi karena aku menangkap isyarat bahwa kau bukan pendusta. Aku memang berparas biasa.

Ini perjalanan kita yang kedua. Sebelumnya, kita gagal. Dunia perlu tahu, kegagalan yang kita alami kala itu bukan karena ada yang tak setia atau mendua. Tapi memang kita belum bisa menemukan elegi yang sama: aku seperti orang tua dan kau sangat anak muda. Kita sama-sama masih mencari sesuatu yang orang bilang jati diri remaja. Sekarang aku adalah aku, kamu juga adalah kamu. Kita tetap berbeda, tapi kita berada di nada dasar dan melodi yang sama: kita sudah dewasa.

Lelakiku, ingin sekali kuhadiahkan cermin yang tak hanya mampu pantulkan paras dan ragamu. Aku ingin menghadiahkan cermin ajaib yang mampu menggambarkan rasaku padamu: rasa bersiluet sempurna.

Katamu, aku perempuan penggombal. Ya itulah aku. Kadang aku berpikir aku terlahir untuk itu. Pasti kau tersenyum, senyummu tetap yang termanis dan ini bukan gombal. Senyummu memang yang paling kusuka, ingin selalu kujaga, dan kuimpikan. Dengan segala pengakuanku atas keahlianku menggombal, percayalah bahwa aku setia terhadapmu. Tidak ada sangat atau pun kurang di depannya, aku hanya setia terhadapmu.

Aku memujamu bukan karena kau bermahkota atau bertongkat sihir ajaib. Aku tak bisa menghindar untuk melakukannya karena kau tak pernah sertakan arogansimu kala kau memapah, kau genggam tanganku seadanya, dan keberanianmu berikrar bahwa hanya aku ratu di hatimu, kalbumu.

Kau memperlakukan hatiku selayaknya kaca yang rapuh, kau begitu apik menjaganya. Ah, kau benar-benar membuatku terpesona.

Lelakiku, lihatlah, tulisan ini sama sekali aku tak suka. Ia sama sekali tak sanggup mengungkap betapa bahagianya aku memiliki dan dimilikimu. Tapi percayalah, aku tetap pujangga. Meski hanya pujangga yang tak lagi mampu memilih kata puitis untuk mengungkapkan cinta padamu. Mungkin karena ada bahasa lain yang belum bisa aku bahasakan dengan tulisan: cintaku untukmu.

Lelakiku, biarlah aku berlayar di samudra rindu dan citamu. Bukan untuk pulang atau tenggelam. Aku ingin tinggal, menikmati apapun di samudera itu: kehidupanmu.

Lelakiku, aku telah miliki langit dan pelangiku sendiri. Biarlah aku memadukannya dengan langit dan pelangimu. Aku berjanji, pelangiku hanya akan melebur di langitmu, memperindah pelangimu. Aku dan kamu akan menatap langit dengan pelangi dan biru yang lebih purnama.

Lelakiku, aku tidak terlalu lemah dan mudah patah. Tapi aku pun tak begitu kuat apalagi perkasa. Percayalah, aku denganmu adalah sempurna. Dengan kesungguhan doa, semoga kau pun memiliki rasa yang sama.  

Tentang hujan


Hujan. Ia kembali memecah sunyi menjadi sepi yang lebih hening. Kembali mengingatkan ribuan kalimat yang pernah ditulis tentang kehidupan; untaian kenangan yang tak usang untuk diceritakan; rangkaian kata-kata cinta yang membahagiakan, mengharukan, menguatkan, bahkan menjatuhkan.

Tertegun begitu khusyu membaca, bukan sekedar membaca.

Hujan, setia menyaksikan banyak teriakan yang tidak sempat didengar siapapun. Setia mendampingi jiwa yang tersandar lemah memejam luka yang tidak sempat diketahui siapa-siapa. Setia menerjemahkan rasa yang tak sempat dipandangi siapa-siapa.

Aku tengah bersama hujan,ingin selalu dengan hujan, selamanya.


- pematang rindu, 26 Mei 2013

Si Aneh Rosna Pentiaratih Supendi


Sampai hari ini aku masih saja aneh dengan manusia bernama Rosna Pentiaratih Supendi. Pun masih belum bisa menghentikan rasa syukurku memiliki teman seaneh dia. Kata ‘aneh’ aku pakai untuk menggambarkan dia bukan karena dia aneh. Aku sebut dia aneh karena dia punya banyak hal yang aneh tanda kutip, hehe..

Dia biasa dipanggil Oozh. Dia pernah menceritakan alasan mengapa dia dipanggil dengan nama itu, tapi aku lupa. Ya, inilah aku, pelupa. Berbeda dengan dia, dia nyaris tak bisa lupa sesepele apapun cerita yang pernah aku sampaikan. Aku berteman dengannya sejak tahun 2007, kami sama-sama mahasiswa baru di sebuah universitas negeri di Bandung. Tapi mulai menyandang status ‘sahabat’ sekitar pertengahan tahun 2008.

Kami berdua memang begitu dekat seperti anak kembar, meskipun secara fisik jauh berbeda. Aku si imut nun mungil juga manis, sedang dia berperawakan besar dan nampak tidak imut sama sekali, hehe.. tapi dia ‘aneh’ dan aku mungkin lebih aneh.

Ke-‘aneh’ an itu dia tunjukkan ke siapapun dan dimanapun. Tapi aku tak mau terlalu membahas keanehannya yang dia tunjukkan ke orang lain.

Ini dia beberapa keanehannya yang aku tangkap selama kami berteman...

Keanehan pertamanya, dia itu serupa GPS berjalan. Dia mudah mengingat rute jalan, jalur angkot, dan alamat. Dan aku adalah si penyasar yang handal pula. Setelah ditinggal pergi, aku harus menelan pil pahit kembali menjadi penyasar yang handal itu, tanpa GPS berjalan lagi.

Keanehan kedua: dia punya sense of service yang tinggi. Aku yang bossy, merasa sangat nyaman dengan keanehan dia yang satu ini. waktu kuliah dulu, uang jajan dia jauh lebih besar dibanding uang jajanku. Tapi faktanya, terlihat jelas aku yang boss, dia yang karyawan, haha.. Next, aku akan ceritakan ilustrasi nyata yang seringkali terjadi. Aku memang sering terserang penyakit bokek, tapi hasrat untuk nongkrong atau hang-out gitulahyaa tak pernah pandang bulu. Ketika hasrat itu muncul, pasti yang pertamakali menjadi korban ajakanku adalah dia, si rosna yang aneh. Dan hampir 89% ajakanku tidak pernah dia tolak. Kami pergi nongkrong, kami makan di tempat kuliner yang kadang ya lumayan mahal, dia yang bayar (baca: ngutangin), dia jg yang nyatetin bill, dia juga yang berperan jadi pengasuh selama kegiatan nongkrong berlangsung. Menurutku itu aneh. Peribahasa ‘ yang punya duit yang berkuasa’, nggk berlaku dalam persahabatan kami, haha.. #fakta

Keanehan ketiga. dia lebih muda dari aku, dua tahun lebih muda, tapi harus aku akui dia jauh lebih dewasa. Dalam banyak hal, aku selalu mengandalkan pendapatnya. Penuh pencerahan dan tertata apik penuh empati. Aku sangat ingat, dulu ketika kami masih sama-sama ngekos, hampir setiap minggu aku update cerita tentang kehidupan asmara yang penuh konflik. Gaya diplomatisku untuk membela diri tanpa disadari dibuat mati kutu oleh pandangan-pandangannya yang tidak menggurui, bernuansa pengertian, dan kerap kali membuat sensasi #jlebb. Tapi sampai tulisan ini dibuat, aku tak pernah mengakui ini. Ego ‘orangtua’ ku selalu tak mau kalah.

Keanehan keempat  dia: tragedi putus cinta. Entah sudah berapa episode cerita yang mirip telenovela aku muntahkan di telinganya. Tapi aneh tapi nyata, dia masih saja jadi pendengar yang baik sampai hari ini. Aku jarang peduli waktu (baca: pagi, siang, malam), dia sedang apa dan dimana, aku tak segan-segan memuntahkan cerita-cerita ber-genre apapun padanya. Cerita lawak, pandangan sosial-politik, kajian ilmiah, pribadi, karir, asmara, dan banyak lagi dia lahap tanpa ekspresi ‘bosan’. Dia selalu membuatku merasa jadi pendongeng paling menarik dan memesona di hadapannya. Dan dia selalu piawai menjadi pendengar yang baik. 

Friends, it’s such an miracle for me. Loe emang aneh!

Keanehan kelima, dia mirip ibu-ibu. Pernah di suatu hari ceritanya aku mengalami patah hati yang super duper dahsyat. Orang yang pertama kali aku hubungi saat itu ya siapa lagi kalau bukan dia. Harus aku akui waktu itu ceritaku tersendat-sendat, tidak seperti biasanya. Aku bercerita via telepon, karena dia sudah kembali ke rumahnya di Bogor. Aku benar-benar sakit hati waktu itu dan pengen banget ketemu langsung sebenernya. Tapi jarak yang cukup jauh tidak memungkinkan kami bertemu. Aneh tapi nyata (lagi), cerita singkat yang terbata-bata aku sampaikan malah membuatnya menangis. Tangisan yang dia tahan, pecah dan terdengar juga di telepon. Dia pun turut tersakiti, dia pun turut merasa dikhianati, begitu katanya. Dia memang aneh. Dia bahkan bisa merasakan sakitku, seperti ibu-ibu yang sadar kalau anaknya sedang tidak baik-baik meski tanpa bercerita panjang lebar.

Sebenernya masih banyak keanehan lainnya yang dia punya, tapi belum memungkinkan untuk diceritakan sekarang. Kata ‘aneh’ yang bisa jadi adalah  kata absurd yang mewakili kekagumanku pada si sahabat yang satu ini. Aneh karena kebaikannya luar biasa. Aneh karena banyak hal extraordinary yang dia punya. Aku hanya tak habis pikir, kebaikan apa yang sebenarnya pernah aku lakukan di masa lalu, hingga Tuhan menghadiahkan teman seistimewa dia. Terlepas dari sifat kekanak-kanakannya yang kadang muncul, itu masih manusiawi, dia banyak menunjukkan arti ketulusan menyayangi teman. Darinya aku banyak belajar. Terimakasih banyak, tetaplah menjadi si ‘aneh’ itu.

Dan mungkin sama anehnya dengan ide tulisan ini. Penting nggk penting, ini penting dooonk. Mungkin akan aku bacakan dengan bangga dan bernada sedikit konyol pada anak cucu nanti.