Selasa, 25 Desember 2012

magenta


pikiran yang berbalut kalut mewujud abstraksi rasa. entah bermula darimana, pun entah menuju kemana. menyisir aliran nadi berharap temui magenta. lalu untuk apa semua itu? lagi-lagi, entah.

tercenung menatap langit yang menguning di ufuk barat, menyaksi berjuta tanya yang kian riuh. andai aku tahu, sedikit saja. mungkin ia takkan seriuh ini.

dialog jelaga membentuk antologi tak berbatas. sesekali mencipta desau yang menyapa kedalaman jiwa. sapa yang tak mungkin berbalas.

lalu apa yang bisa digenggam sekarang? hanya tak ada. tetap tak ada. akan tiada.

KESEL TANDA SERU

Sekian kalinya dihadapkan pada hal yang menuntut keikhlasan. Ya, selalu tidak mudah kalau kita menyematkan kata IKHLAS. 

Siang tadi sekitar pukul 12.00 siang, hape berbunyi menandakan sms masuk. LED nya kedap kedip terus. kebetulan hari ini sedang tidak antusias bergaul dengan si Xavier - nama hapeku.
dan ketidakantusiasan alias kemalasan itu pun berlanjut dengan perasaan yang bisa dinamakan kesal, kecewa, ya semacam itulah. 

SMS itu dari partner backpacker-ku, kami memang berencana backpacking ke JOKJA tanggal 27 Desember ini, dua hari setelah hari ini lebih tepatnya. Dan tetiba dia membatalkan, alasannnya membuatku merasa tidak punya kewenangan untuk marah, acara keluarga. Respon terbaikku adalah: Give No Coment ! 

Di satu sisi..

aku begitu kesal dan kecewa. semua sudah aku siapkan. semua sudah terlanjut terimajinasikan. Sekatenan Jokja, Malioboro malem-malem, wisata-wisata kuliner, sarapan pagi di pecel Beringharjo, lantunan gamelan keraton, becak-becak jokja, ah banyak lagiii lah. rencana lepas penat di kota kesayanganku kini tinggal rencana. Ya, Batal semuanya. tiket kereta tinggal berwujud kertas yang tidak bisa membawaku kemana-mana. 

Di sisi lain..

aku teringat kalau semua terjadi bukan tanpa maksud, atau lebih kita kenal sebagai takdir yang pasti baik. mungkin ada yang diinginkan sang Mahakuasa atas perjalanan yang batal ini. tapi entahlah, aku mungkin belum sepenuhnya bisa menerima, apalagi membaca keinginan-keinginan Allah - Tuhanku yang Mahaagung.

jujur saja, masih tersisa esok hari untuk menerima segala kemungkinan. kemungkinan pertama, partnerku tidak jadi membatalkan rencana kami (ngetiknya diiringi amin yang unlimited!). kemungkinan yang kedua, aku bisa mendapat inspirasi lain, pergi sendiri misalnya. tapi untuk yang kedua ini, tidak ada amin sama sekali. tahun lalu aku kesana sendirian, dan mati gaya! kemungkinan ketiga, aku dapat partner baru. semoga ya. dan the last, samasekali BATAL! 

kemungkinan yang terakhir inilah yang aku sebut sebagai kemungkinan yang perlu kerelaan yang unlimited. say goodbye sama semua imaji dan ekspektasi. 

aku harus gimana? Eugh!

Senin, 03 Desember 2012

Sekisah tentang Senin

Senin. Ya, satu senin berasa setara dengan dua dan tiga selasa. Di semester ini, senin menduduki peringkat pertama dalam menghisap energi.

Prediksiku di awal semester mengenai hari senin ini benar adanya. Awalnya jadwal kuliah di hari senin hanya tiga mata kuliah. Tapi karena berbagai kepentingan, jadwal dipadatkan di hari Senin. Dari tujuh mata kuliah yang dikontrak, lima diantaranya terjadwal di hari senin, satu lainnya di hari selasa, dan satu lainnya lagi di hari Kamis. Entahlah, bioritme kognisiku benar-benar tidak bisa meng-cover kebutuhan konsentrasi lima mata kuliah di setiap senin.

Dimulai Pkl. 07.00 (biasanya aku terlambat masuk 10-15 menit), hehe..
jeda di Pkl. 09.30 - 10.20, lima puluh menit lah ya.. lumayan untuk sarapan atau sekedar jajan-jajan. And then, mulai lagi di 10.20 - 12.00, terus biasanya dilanjut shalat dzuhur plus makan siang kadang-kadang, terus lanjut lah dua mata kuliah non-stop sampai 15.30. Yap..! And you know what? mata kuliah yang bertengger di jadwal terakhir itu adalah FILSAFAT. Gosh! ketika psychophysiologic-ku mengalami regresi, aku dipaksa bercengkrama dengan mata kuliah yang sampai hari ini, entahlah, belum bisa kutemukan sisi manis atau sisi centilnya. Jujur (tanpa lebay), otakku enggan sekali merespon, sulit sekali mengunyah sajian dari mata kuliah yang satu ini. Kenapa ya? Wallahu'alam bi shawwab.. (T.T)

Tentang senin, tentang upayaku bertahan. Juga tentang bagaimana aku berlatih. Hm... tentang aku berteman dengan sesuatu yang tidak favorable, desirable, dan sejenisnya lah. Senin di semester ini, yang setia menyajikan kuliah pagi (sekali), memaksaku melepaskan pelukan mesraku pada guling lepek plus boneka monyet kucel ku; melahap filsafat di petang melayang; mengurung dan menahanku di kelas; dan memaksaku menikmati setiap tik-tak di sela-sela bosan membahas Kurt Lewin, Sheldon, dan teman-temannya yang kadang tidak bisa kumengerti jalan pikirannya.

Apapun yang terjadi pada setiap senin. Inilah catatan sejarah sang pengejar mimpi. pada episode kali ini, aku tak mau senin kecewa. meski aku tak suka filsafat, meski aku tak bisa bangun pagi, aku ingin mencoba setia pada janjiku, janji untuk menjadi juara di kehidupan ini. ini bukan hanya tentang senin, mungkin tentang selasa, rabu, kamis, jumat, dan sabtu juga minggu yang akan lebih berat. 

biarlah senin dengan semua yang ia sajikan, mungkin nanti tak lagi bisa kutemui senin.
 

(Gubuk pemimpi, 03 Desember 2012)

Sabtu, 01 Desember 2012

Indonesia dan Malaysia di Lapangan Bola


sebenarnya aku tak begitu suka menonton pertandingan bola. bukan hanya tidak suka, tapi juga tidak pernah bisa mengerti harus bagaimana ketika menontonnya. sulit sekali menemukan kesenangan yang mungkin bisa dengan mudah ditemukan orang lain, apalagi oleh orang-orang yang mengklaim dirinya sebagai 'pecinta bola'.

tapi, entah apa yang terjadi pada syaraf di otakku ketika mendengar indonesia melawan malaysia, tetiba ingin dan bisa bersabar menikmati ketidakmengertian akan pertandingan bola. mendadak mainstream dan begitu manut pada prinsip konformitas, hehe..

ada negeriku yang bertanding dengan negeri lain di jam ini. yang pertandingannya sudah lebih dulu dimulai bukan sekedar di lapangan hijau itu. mungkin itu yang membuatku mampu mematung meneguk detik per detik berlangsungnya pertandingan. ini bukan hanya pertandingan bola. begitulah indonesia, begitulah aku. ada sebuah keingintahuan berbalut harapan, indonesia akan meraih kemenangan.

lihatlah sayang, Indonesia kita sedang bertaruh harga dan citra dengan Malaysia. Semoga berbalas kemenangan, yang tak hanya berwujud angka. :)

Kamis, 29 November 2012

Kembali (lagi)


Seperti langit yang tak enggan menumpahkan ribuan jarum beningnya ke bumi. Serupa aku yang tak pernah enggan menjejali angin dengan tangis dan tawa di hari-hari. Ketika benar-benar ingin, atau pun tidak.
Di setiap celah berupaya mencari-cari ujung sinar. Yang kerlap kerlipnya tak henti menarik batin terkagum-kagum dalam tatapnya. Meski hening, tanpa kata dan nada.
Tapi celah tinggal celah, ia hanya menyajikan lelah dan sedikit gundah. Aku kembali dan memunggungi cahaya. Berjalan menunduk menikmati bau basah tanah. Sesekali menatap pepohonan yang tak jua mampu menghapus kecewa.
Aku pulang, aku kembali. Entah karena ingin, atau pun tidak.

(Rumah mungil pinjaman, 30 November 2012)

Dengarlah, Tuan


Tuan, aku ingin bercerita.

Entah sudah berapa malam, waktu ku terhisap cemas.
Sepanjang jalan yang kulewati setiap malam tak berhenti bercerita.
Memang aku suka cerita, tapi bukan cerita ini.
Anak dan balita kian akrab saja dengan temaram meredup, kadang tenggelam dalam gelap.
Aspal, tanah, bercampur debu menyeruak pedih di sela-sela harinya.
Sesekali, bulir-bulir hujan menyapa. Hujan yang turun serupa waterboom tanpa wahana bermain, sakti mencipta gigil berkepanjangan.
Terbaring juga remaja, lelaki dan wanita paru  baya, sampai orang  tua. Mereka semakin akrab dengan langit dan angin. Mereka dipaksa berteman.
Gemericik aliran serupa air pekat di selokan tiada bosan menyenandungkan lagu serupa nina bobo.

Tuan, apakah kau pernah mendengar cerita ini sebelumnya ?
Bagaimana perasaanmu, Tuan?

Dipan-dipan mereka adalah pijakan ketika orang-orang mengangkut berkantong-kantong sepatu dan baju bermerek.
Dipan yang harus mereka rapikan sebelum mentari menyapa kota. Mereka tak boleh terlambat bangun. Semenit saja terlalu nyenyak,  serial makian pagi akan mereka santap dari sosok penguasa. Belum lagi adegan cibiran dan tatapan para pejalan bak raja yang terhalang laju singgasananya.
Kembali terbangun, tanpa peduli berapa gigitan yang melukis bulatan kemerahan di kulit tangan, kaki, dan wajahnya. Mereka tak mengenal wewangian di kamar mandi. Mereka tak tahu pesona aroma di dapur, saat pagi menyapa. Yang mereka tahu hanyalah kembali mengais ladang penghidupan. Kembali memanjakan lambung terkadang hanya dengan menikmati basi-basi di nasi.

Ah, tak tahulah. Apa yang telah aku perbuat di atas pijakan bumiku yang penuh gemerlap. Tetiba semua memekat, membuatku tercekat.
Tuan, bolehkah aku bertanya?
Bagaimana perasaanmu, Tuan?

Kontemplasi berjudul 'hehe'

Dua bulan terakhir mungkin dua bulan yang tak biasa. Meski langit tak menghadiahkan hujan pada bumi, hari-hariku tak bisa lepas dari basah di pipi. Berlebihan dan dramatis memang. Tapi itulah yang terjadi. Genre kisahnya tak lepas dari terminologi 'putus cinta'. Dua bulan ini alih-alih aku bisa jadi termasuk nominasi makhluk yang paling irasional di muka bumi, hehe..

Bab-bab ilmiah yang disajikan di sela-sela hari membuatku merasa semakin konyol. Sulit sekali untuk bisa memahami dan mengunyahnya sebagaimana mestinya. Deretan kalimat yang terbaca dan tertulis hanyalah sastra kosong yang menggambarkan kekosongan rasa. Berlebihan atau bisa juga disebut 'lebay,' tapi itulah yang terjadi, hehe..

Serangkaian senyum tasire hadir mengiringi tingkah laku, di kampus, di kosan, di jalan, atau ketika melakukan adegan jual beli dengan abang bakso. Rutinitas, hanya serupa rutinitas yang menjadi kekayaanku dua bulan terakhir ini. 

Aku dengan setia melontarkan beberapa pertanyaan di jeda waktu menonton sinetron dan mengerjakan tugas-tugas kuliah di kosan. Pertanyaan yang mungkin  sebetulnya tidak akan pernah berjodoh dengan jawaban yang pasti. pertanyaan yang lebih pantas disebut penyesalan, penghujatan, dan penggalauan tak berkesudahan, hehe..

mengapa aku harus disakiti? mengapa aku harus dibohongi saat aku memberikan sebuah totalitas? mengapa aku? mengapa harapan itu sebegitu tinggi? mengapa aku begitu mencintai? mengapa sesakit ini? mengapa dia? mengapa seperti ini?

itulah kurang lebih pertanyaan-pertanyaan yang berulang. syaraf-syaraf di otakku hanya mematung tak bergeming. tak mampu berikan jawaban. hanya tercipta sekomunitas 'hehe' di ujung pertanyaan yang kemudian diasumsikan sebagai sebuah jawaban yang paling tepat. ya, apalagi yang bisa kulakukan selain berusaha menertawakan keganjilan rasa dan hampa yang bisa dikatakan akut ini.

hingga sampai pada hari ini. ini adalah bulan ke tiga setelah bencana besar dunia kalbu si gadis pemimpi yang tak lain dan tak bukan bernama: Aku.

di perjalanan, yang lumayan berbelok. aku bertemu banyak orang. tak usahlah kusebut satu persatu para penjual makanan yang setia menantiku sepulang dari kampus. orang-orang lama yang kunamai sahabat ternyata begitu menanti aku sembuh. mereka merindukan aku yang berdiri tegak dan menengadah menatap langit. aku yang tak pernah takut jatuh. aku yang katanya pandai menyembunyikan pilu dan sendu. aku yang lebih dikenal perempuan pemikir dan rasional. mereka mengaku kesakitan melihatku yang berubah menjadi pujangga tolol tak bersambut cahaya. orang-orang baru, yang hanya berjumlah dua dan tiga, yang belum sempat kunamai pun tengah membelai-belai bulir-bulir kognisiku untuk kembali berbinar menjalani mimpi. Ya, begitulah, ternyata aku cukup punya arti untuk setetali manusia. Sekabar baik untuk hidupku, hehe..

ah, terimakasihlah yang hanya mampu terhembus bersama nafas pagi ini. di samping buku-buku yang sengaja atau tidak sengaja digeletakkan di samping peraduan. aku begitu berterimakasih. aku seakan terbangun dari pingsan yang cukup panjang. aku tengah menikmati hujan yang tak lagi menorehkan lamunan gulita. aku tengah mencatat kutipan-kutipan hikmah di balik ketidaksadaran yang cukup lama kunikmati. 

aku kembali, aku pulang. 

Jika M dalam film Skyfall menyebut "Penyesalan tidaklah profesional," begitu aku sangat menyetujuinya. Baik di mata Tuhan ataupun makhluknya, penyesalan memang tak pernah profesional. Penyesalan tak pernah bisa menjadi pendongkrak terwujudnya keindahan hidup. Biarlah penyesalan atas ceritaku dalam konteks kemanusiawian, aku posisikan dalam terminologi kontemplasi bernama refleksi, bukan narasi.

Tuhan, izinkan aku memaafkan diriku atas segala ketololan yang membuatku kian kerdil. Izinkan aku pulang dan kembali menjadi makhluk yang tak henti merayu-Mu untuk memeluk semua mimpi. Ah, aku serupa mentari yang begitu bahagia menyapa bumi di pagi hari. Serupa sunrise, yang dinantikan banyak manusia di puncak gunung. Terima kasih.


Mari kembali mendaki, mari kembali berlari. :)


Minggu, 25 November 2012

Selamat Hari Guru, Indonesiaku

Guru. Pekerjaan atau pengabdian kah?
entahlah, aku tak tau pasti yang mana yang lebih merepresentasikan apa itu Guru.
Guru. bagiku, lebih dari sekedar pekerjaan.
tak layak rasanya jika seseorang menyandang lencana Guru, jika ia bukanlah pengabdi.

Guru, selamat hari guru.
tak ayal dunia ini bisa seperti sekarang jika tanpamu.
Guru, Selamat, kamu adalah Guru yang terpatri nama mulianya di Istana Pengabdian.

(Kelas, satu hari setelah Hari Guru Nasional Indonesia )

Selasa, 20 November 2012

Bisakah kau jelaskan?


Dalam kisah ini kita sangat pandai bermonolog. Aku menjadi sering bercerita dan bercengkrama dengan diriku sendiri. Mencoba melupakan sosok yang pernah ada dan mampu memberiku ketenangan. 
 --
Dari pagi ke pagi aku berjanji untuk berhenti mencari dan menunggu sosok engkau. Tapi janji itu tak pernah bisa aku tepati. Aku dan segelas kopi masih saja setia pada harapan akan kedatanganmu. 
kau dengan lenggang khasmu sembari tersenyum.
menanti kembali saling bercerita tentang mimpi-mimpi kita. 
 --
Begitu juga dengan kau. Di istanamu, kau pun mungkin tengah menggemakan monolog. Yang entah kalimat apa saja yang tengah kau untai. Entah kisah apa yang tengah kau urai.

Kini, kita telah sama-sama menjauh dari titik temu. aku berjalan mundur, dan kau berjalan maju setelah berbalik memunggungiku. aku masih setia menatapmu berjalan menjauh.
--
Tahukah kau?
 --
aku begitu kacau setelah kau memutuskan untuk pergi. Meja kerjaku berantakan tak pernah rapi. Pekerjaanku? Semakin banyak aku harus merevisi pekerjaanku. Entahlah, konsentrasi menjadi hal tersulit untukku. 
 --
Debu yang sudah terlalu tebal di atas tv pun tak pernah aku peduli. Aku tak lagi lahap menyantap sarapan, makan siang, dan makan malamku. Kantung mataku semakin gelap, kau lihat itu kan? aku tak lagi suka mematut-matut diri di depan cermin. Aku tak peduli. 
Nyatanya aku memang tak peduli hal lain, selain ingin kau bisa kembali.  
Tapi apakah kau masih peduli? Aku tak tahu pasti. 
Yang aku tahu, kau tidak ada di sini, kau bahkan tak membantuku membalut kesakitan ini.
--
Aku yang berusaha untuk terlihat kuat, setidaknya di matamu. Nyatanya hanya sosok yang terlalu rapuh untuk sekedar berjalan perlahan. Kau hebat, kau memang yang terhebat. Aku tak begitu. aku terlalu, ah entahlah ini perasaan apa. 
Cinta? Bukan, ini lebih dari sekedar itu. 
--
Mungkin kau marah, mungkin kau benci, mungkin kau kecewa atas aku yang kalah. Marah sajalah, bencilah, dan kecewalah. Dengan atau tanpa kemarahan, kebencian, dan kekecewaanmu padaku yang begitu lemah, aku tetaplah perempuan yang  tak bisa menghindar dari memuja, menanti dan merindukanmu. 
Marah sajalah, bencilah, dan kecewalah! Nyatanya aku memang terlalu lemah.
--
Jendela yang dibasahi embun setiap pagi, begitu berusaha empati terhadap tatapan kosongku. Ia kerapkali memaksaku bercerita. Entahlah, aku tak tahu caranya. Aku bingung, bagaimana aku harus menjelaskannya. 

Bisakah kau jelaskan aku harus bagaimana? wahai orang hebat yang kupuja.


 (monolog di penghujung gelap, November 2012)

Senin, 19 November 2012

Dinda

Dinda, moga senantiasa kebahagiaan dan keindahan tumbuh di tiap kita melangkah dinda.
Sampai tutup usia, dinda adalah seadanya.
Dinda dinda..
bahkan sampai kau benar-benar tua dan kulit-kulitmu dilipat usia, kau tetap perempuan teraduhai di aku dinda
jika kau suatu saat terjatuh, jatuhlah di atas tubuhku dinda, biar kulitmu tak luka atau biar sakit tak kau rasa. 
Dinda
katakan sesuatu apa saja terhadapku, lalu rasakan, betapa tubuhku senantiasa bergertar dinda.
karena keyakinan terhadapmu dinda

Jari jemari, gemulaimu, jari jemari lihaimu, kursakan lembut menyentuh yang kemudian kugenggam dan betapa tak ingin kulepaskan, sekarang, lusa, atau entah di kapan pun itu tak ingin kulepaskan.
betapa lalu aku ingin membiarkan diriku terhisap matamu, berkelana di dalam dirimu, menelusuri lembah-lembah hidupmu
denganmu...
Hanya kita. kita yang saling memandang
saling tersenyum, sesekali aku tersipu, dalam genggam yang tak pernah lepas.
dan tiap bila melihatmu tersipu, aku selalu ingin segera bisa mencuri tubuhmu ke dalam pelukanku,
kemudian menanam kecup di keningmu,
di pundakmu atau di kelopak matamu.


@uly_napitu